Langsung ke konten utama

-PEREMPUAN TERTINDAS-

  
Mari renungkan nasib yang di alami perempuan yang terlanjur di bangun secara kultural melalui wilayah persepsi sebagai makhluk lemah. Karena persepsi ini, di mana pun di muka bumi perempuan selalu dalam posisi kalah atau terkalahkan, alias dikuasai justru oleh sesama manusia, yaitu kaum laki laki. Perempuan di jadikan objek seksual saat kebutuhan biologis laki laki menggelora. Bahkan, saat kehabisan gelora, laki laki tetap saja berusaha agar tetap membara, biasanya melalui obat penguat biar perkasa. Situasi akan semakin dramatis bila lima laki laki sekaligus menggilir seorang perempuan secara paksa, persis seperti para bajingan yg di tayangkan metro tv di beritanya. Ketika menyaksikan perempuan ini tergolek tanpa daya, baik dengan atau tanpa darah segar di sekitar kemaluannya, kelima laki laki bangsat keparat laknat anjing ini menatap dengan puas. Betapa sempurnanya mereka sebagai laki laki yang gagah dan kuasa.

Sebagai objek seksual laki laki, perempuan mesti menanggung konsekuensi lanjutan. Bila terjadi kehamilan, perempuan mesti menjaga kandungannya, dan bila janin lahir menjadi manusia baru, diapun mesti memelihara dan merawatnya. Lebih celaka lagi, bila laki laki yang menghamilinya itu adalah suaminya, dia pun mesti melayani dan memenuhi seluruh kebutuhannya.

Karena rentetan inilah hidup perempuan nyaris tenggelam di tempat tidur bersama suami dan bayi yang mesti di susui, tenggelam di dapur dan menyediakan makanan buat mereka, berbasah basah di sumur mempersiapkan pakaian mereka. Sedikit saja kesalahan di buat, tamparan di wajah menjadi hadiah yang paling murah. Peningkatan harga hadiah bisa bertambah, misalnya dengan ditendang dan di injak injak. Hadiah paling mudah tentu saja di tinggal minggat begitu saja. Bila kesalahan kesalahan di lakukan soal ketidak mampuan melayani kebutuhan biologis, imbalan paling indah adalah ditinggal kawin lagi alias dimadu. Ini yang pernah aku sebut satu tahun yang lalu, manusia kalah dan terkalahkan namun tetap saja mujur, menjadi sapi perah.

Jujur saja, sesungguhnya nasib malang yang di derita perempuan berabat-abat ini hanyalah akibat sampingan doktrin kekuasaan yang tertanam kuat dalam hati dan pikiran manusia laki laki. Belakangan semakin terasa pahitnya derita yang harus di tanggung manusia perempuan, dan agaknya tak bisa di biarkan terus berlangsung. Maka oleh sebab itu, beruntung kamu mampir ke status saya, dari sekarang ayok utamakan apa yang perlu kamu siapkan.


_________________________________
Ditulis oleh: Rifai, manusia penyuka gorengan setengah matang

Komentar

  1. GORENGAN POLITIK Cong tulisannya yang ada di gerobaknya di copot sama orang. Baru jualan seminggu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih ingat kamu..? normal ingatanmu diatas rata_rata :)

      Hapus

Posting Komentar

isi komentar dengan seradikal mungkin

Postingan populer dari blog ini

SARUNG BUKAN HANYA MILIK MASJID DAN MUSHOLLA

Kejadianya sudah lumayan lama. Masehi bilang, hari itu tanggal 10 Juli 2022. Yang mana juga bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah. Dan saya terlibat dalam sekelumit cerita yang terjadi di hari itu. Jadi, hari itu (10/7) selepas salat Id di masjid, saya pulang lalu sarapan.  Setelahnya, saya bergegas menuju lokasi penyembelihan hewan qurban (kambing) untuk menyaksikan prosesi pembunuhan tahunan tersebut. Beruntung, saya belum telat. Sesampainya di sana, saya langsung dihampiri seorang pria paruh baya berkaos hitam dan bertopi. Oh, rupanya itu tetangga sebelah. Saya baru sadar ketika beliau mendekat, maklum keasyikan main petasan. Tak disangka, bukan senyum hangat kebapakan yang saya dapat melainkan sorot mata tajam plus hardikan mesra dari ceropong beliau.  “Copot! Sarungnya copot! Pulang! Di sini tempat kerja, bukan mau ngaji!” damprat beliau dengan nada meninggi namun tak lantang.  Tentu, saya tidak ingin ada percekcokan yang berpotensi mengundang atensi warga dan berubah

PELACUR: DI TEMPAT INI DAPAT MERDEKA?

Setiap kali aktivis dengan berani meneriakkan kesetaraan perempuan, masih ada beberapa sektor yang sering kali saya perhatikan justru “terpaksa” bungkam—salah satunya adalah para perempuan korban prostitusi. Saya sebut sebagai korban prostitusi karena, terlepas dari cara feminis liberal atau feminis postmodern mengglorifikasi hal ini, prostitusi atau perdagangan perempuan adalah tempat di mana relasi kuasa justru bekerja paling kejam dan sistematis. Saya sedang di Bali, di tempat ini, segala hal yang ditolak mati-matian oleh aktivis perempuan—pelecehan dan kekerasan seksual, hubungan tidak sehat yang menyakiti perempuan, dirampasnya kehormatan perempuan secara paksa bahkan sampai femicide (pembunuhan perempuan)—seakan-akan dilumrahkan terjadi. Karena semua itulah, mereka sering kali bungkam dan tidak tergabung dalam barisan utama perjuangan hak asasi perempuan. Pada 8 November 2020, saya berkesempatan mengunjungi salah satu rumah penginapan di jalan anyelir, Tabanan, Bali yang ka