Langsung ke konten utama

PELACUR: DI TEMPAT INI DAPAT MERDEKA?

Setiap kali aktivis dengan berani meneriakkan kesetaraan perempuan, masih ada beberapa sektor yang sering kali saya perhatikan justru “terpaksa” bungkam—salah satunya adalah para perempuan korban prostitusi. Saya sebut sebagai korban prostitusi karena, terlepas dari cara feminis liberal atau feminis postmodern mengglorifikasi hal ini, prostitusi atau perdagangan perempuan adalah tempat di mana relasi kuasa justru bekerja paling kejam dan sistematis.

Saya sedang di Bali, di tempat ini, segala hal yang ditolak mati-matian oleh aktivis perempuan—pelecehan dan kekerasan seksual, hubungan tidak sehat yang menyakiti perempuan, dirampasnya kehormatan perempuan secara paksa bahkan sampai femicide (pembunuhan perempuan)—seakan-akan dilumrahkan terjadi. Karena semua itulah, mereka sering kali bungkam dan tidak tergabung dalam barisan utama perjuangan hak asasi perempuan.

Pada 8 November 2020, saya berkesempatan mengunjungi salah satu rumah penginapan di jalan anyelir, Tabanan, Bali yang katanya dibangun atas dasar tujuan “Untuk menampung manusia yang membutuhkan tempat tinggal”. Ketika ditanyakan mengapa bukan laki-laki yang ditampung di penginapan ini, seorang petugas—kebetulan laki-laki—di sana menjawab bahwa “Perempuan di masyarakat lemah posisinya, sehingga harus difasilitasi, meski diketahui bahwa mereka sedang menjual diri. Dan karena cuma di tempat ini mereka dapat merdeka”. Kecurigaan saya terhadap dasar nilai seksis yang dibangun semakin bertambah ketika saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang penerima tamu laki laki masuk kedalam kamar berinisial SI

SI menyambut saya cukup ramah. Ia menceritakan bahwa dirinya terlibat dalam pekerjaan sebagai pelacur empat bulan yang lalu. Ia terpaksa karna keadaan ekonomi keluarganya dan harus menanggung seluruh biaya kebutuhan adiknya.

Ketika ditanya mengenai latar belakangnya, SI menjawab bahwa ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Keluarganya miskin dan adik-adiknya masih sekolah. Penghasilan kedua orang tua mereka tidak mencukupi biaya hidup mereka semua apalagi ditambah bahwa bapaknya sudah sejak lama meninggalkan mereka, sehingga pada umur 19 tahun, SI terpaksa putus sekolah, kemudian nikah siri dan menjadi istri kedua. Di usianya yang baru 20 tahunan, SI sudah dikaruniai seorang anak. Tak lama setelah memiliki anak, ia terpaksa bercerai dengan suaminya karena istri pertama yang tidak suka kepadanya. Beban SI berat, mengingat ia harus menafkahi orang tua, adik-adik, dan anaknya yang masih sangat kecil pada saat itu. Karena putus sekolah, ia tidak memiliki ijazah dan kemampuan yang cukup untuk kerja yang mapan. Prostitusi bukanlah sebuah pilihan baginya, namun satu-satunya jalan yang ia tempuh demi bertahan hidup.

Di penginapan itu, SI mengatakan ia sering mendapatkan tamu yang keras kepala bahkan terkadang memaksakan kehendaknya hanya demi kepuasan birahi saja. SI merasa bahwa melapor pun percuma karena masyarakat—termasuk orang-orang yang berada disekitarnya —sudah menganggap SI menjadi manusia yang kotor, gila, dan tak pantas dikasihani. Sangat miris mendengar SI mengucapkan hal tersebut dari mulutnya. Saking seringnya SI menjadi cibiran masyarakat karna memilih menjadi seorang pelacur, mereka menjadi lupa kalau sebenarnya SI juga adalah korban utama dari patriarki. Sekali lagi patriarki.

Disini kita dapat melihat bahwa relativisme kondisi manusia secara kultural sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan praktik-praktik tidak manusiawi dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan dalam suatu kelompok maupun individual. Hal ini semakin diperparah kondisi masyarakat Indonesia yang patriarkal, yang sering kali menempatkan posisi perempuan, korban yang paling dirugikan oleh sistem, sebagai tersalah. Saya tidak bermaksud untuk membela si pelacur tadi, dengan mengatakan bahwa profesi sebagai placur itu benar, mari kita lihat.

Dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing pada 1995, perdagangan perempuan dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi seksual global yang melecehkan hak asasi jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia. Prostitusi termasuk dalam kategori eksploitasi perempuan ini.

Andy Yentriyani, salah satu komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang skripsinya diterbitkan menjadi buku berjudul Politik Perdagangan Perempuan menyebutkan bahwa perdagangan perempuan adalah suatu bentuk pelanggaran berat dari hak asasi manusia perempuan. Dalam bukunya, ia mengutip laporan hak asasi manusia perempuan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, tentang Trafficking in Women and Girls into Forced Prostitution and Forced Married:

".............Konstruksi masyarakat yang patriarkal menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Karena posisi tersebut, perempuan tidak memiliki kekuasaan atas pengambilan keputusan, bahkan mengenai tubuh dan masa depannya sendiri karena dianggap tidak sanggup untuk secara rasional memutuskan sesuatu yang bersifat strategis. Terutama bila kepentingan keluarga yang lebih luas dipertaruhkan dalam keputusan tersebut, misalnya dalam hal meringankan beban ekonomi keluarga.”

Latar belakang ekonomi keluarga SI yang miskin dan terbelakang membuat ia terpaksa melepaskan pendidikannya dan terjerumus ke dalam dunia prostitusi demi menafkahi keluarga dan anaknya. Rae Story, seorang penyintas dari Inggris mengatakan bahwa mayoritas perempuan yang menjadi korban perdagangan seks berasal dari kelas sosio-ekonomi bawah. Karena prostitusi menawarkan uang yang cepat dan “mudah”, maka lebih mudah menarik perempuan-perempuan miskin ke dalam perangkap perdagangan seks daripada mereka yang sudah stabil secara finansial.

Saya yakin kita semua sudah sepakat bahwa pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di jalanan serta bukan hanya mengancam perempuan-perempuan kelas atas. Pelecehan dan kekerasan seksual juga terjadi di tempat-tempat terpencil, kumuh, dan penuh laki-laki bengis yang berpikir bahwa sejumlah uang adalah tiket untuk melakukan penindasan terhadap perempuan.

Realitas seperti itu dihadapi oleh perempuan yang dijerumuskan ke dalam prostitusi. Kenyataannya, itu semua harus mereka hadapi sehari-hari demi mendapatkan sesuap nasi. Stigma-stigma masyarakat yang dialamatkan khusus bagi pelacur hari ini, sama sekali tidak banyak menolong para saudara kita ini, hanya menambah beban mereka karena dibangun atas paradigma yang salah tentang kemiskinan dan nilai-nilai yang seksis.

Prostitusi, pada kenyataan praktiknya yang berjejaring dan besar dalam masyarakat, bukanlah suatu pilihan. Menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan sama sekali tidak emansipatif. Menggunakan “pilihan” sebagai argumentasi untuk mempertahankan prostitusi sering kali justru menutup ruang untuk dialektik ke arah perubahan yang positif, serta membungkam suara-suara mereka yang korban sebenarnya. Tidak jarang kita, para feminis salah pengertian dengan mengartikan bahwa anti-prostitusi berarti anti-pekerjanya. Jangan biarkan industri yang terus-menerus meraup keuntungan dari obyektifikasi perempuan langgeng melanglang buana. Jangan biarkan saudari-saudari kita semakin kehilangan suaranya. Libatkan mereka lebih banyak dalam debat dan diskusi. Tujuan kita selalu sama dan selalu satu: merdeka dari penindasan patriarki.



__________________________
Ditulis oleh: Rifa'i, magister Jomblo di hadapan kapital dan kekuasaan

Sumber foto: Pixels

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARUNG BUKAN HANYA MILIK MASJID DAN MUSHOLLA

Kejadianya sudah lumayan lama. Masehi bilang, hari itu tanggal 10 Juli 2022. Yang mana juga bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah. Dan saya terlibat dalam sekelumit cerita yang terjadi di hari itu. Jadi, hari itu (10/7) selepas salat Id di masjid, saya pulang lalu sarapan.  Setelahnya, saya bergegas menuju lokasi penyembelihan hewan qurban (kambing) untuk menyaksikan prosesi pembunuhan tahunan tersebut. Beruntung, saya belum telat. Sesampainya di sana, saya langsung dihampiri seorang pria paruh baya berkaos hitam dan bertopi. Oh, rupanya itu tetangga sebelah. Saya baru sadar ketika beliau mendekat, maklum keasyikan main petasan. Tak disangka, bukan senyum hangat kebapakan yang saya dapat melainkan sorot mata tajam plus hardikan mesra dari ceropong beliau.  “Copot! Sarungnya copot! Pulang! Di sini tempat kerja, bukan mau ngaji!” damprat beliau dengan nada meninggi namun tak lantang.  Tentu, saya tidak ingin ada percekcokan yang berpotensi mengundang atensi warga dan berubah

-PEREMPUAN TERTINDAS-

   Mari renungkan nasib yang di alami perempuan yang terlanjur di bangun secara kultural melalui wilayah persepsi sebagai makhluk lemah. Karena persepsi ini, di mana pun di muka bumi perempuan selalu dalam posisi kalah atau terkalahkan, alias dikuasai justru oleh sesama manusia, yaitu kaum laki laki. Perempuan di jadikan objek seksual saat kebutuhan biologis laki laki menggelora. Bahkan, saat kehabisan gelora, laki laki tetap saja berusaha agar tetap membara, biasanya melalui obat penguat biar perkasa. Situasi akan semakin dramatis bila lima laki laki sekaligus menggilir seorang perempuan secara paksa, persis seperti para bajingan yg di tayangkan metro tv di beritanya. Ketika menyaksikan perempuan ini tergolek tanpa daya, baik dengan atau tanpa darah segar di sekitar kemaluannya, kelima laki laki bangsat keparat laknat anjing ini menatap dengan puas. Betapa sempurnanya mereka sebagai laki laki yang gagah dan kuasa. Sebagai objek seksual laki laki, perempuan mesti menanggung konsekuensi