Dalam suatu waktu perempuan itu menggerutu “Mas, rajin amat sih mau cuci piring sendiri, gak ada kerjaan lain apa?”
Pertanyaan atau mungkin pujian itu dilontarkan teman atau kerabat terdekat saat melihat saya mencuci kotak tempat makan. Biasanya lontaran seperti itu akan memicu curhat colongan dari teman-teman utamanya mereka yang perempuan, terutama soal minimnya partisipasi pasangan mereka dalam urusan rumah tangga.
“Suamiku mana mau, Mas, bantu-bantu cuci piring kayak sampean,” ujar salah satu teman, yang diiyakan teman perempuan yang lain. Keluhan-keluhan itu muncul secara umum, tidak peduli latar belakang suku atau agama.
“Dalam tradisi keluarga istri, harusnya saya diberi hak istimewa untuk tidak terlibat dalam urusan dapur. Enaknya mereka yang mendapatkan suami dimana dia sangat jarang, bahkan dilarang, untuk terlibat dalam urusan di dapur dan juga mengurus rumah. Namun yang terjadi hari ini, mertua akan menegur jika saya tidak melayani suami dengan baik dalam hal urusan makan atau jika saya tidak terlibat dalam urusan mencuci atau membersihkan rumah.” dia melanjutkan keluhannya
Jujur, saya sebagai penulis menemukan tradisi yang berbeda dalam keluarga Fadila (nama samaran). Mertuanya selalu menekankan pentingnya terlibat dalam urusan dapur. “Saya akan ditegur jika setelah makan tidak meletakkan piring bekas makan di tempat cucian. Selain itu, membersihkan rumah juga menjadi tugas yang dilakukan secara bergiliran dengan adik dan kakak saya tanpa mengenal gender. Sejak kecil, tepatnya setelah lulus sekolah dasar, saya juga terbiasa menyetrika pakaian Ibu dan adik perempuan saya.” dia melanjutkan
Minimnya partisipasi laki-laki dalam urusan rumah tangga barangkali dapat dirunut dari sejarah manusia itu sendiri. Ketika manusia masih pada era berburu dan meramu pria akan memiliki tugas mencari hewan buruan hingga jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan perempuan akan diam di kampung atau tenda untuk merawat anak-anak, mengumpulkan buah-buahan liar, dan memasak hewan buruan. Agaknya, meski manusia sering dikatakan cukup adaptif terhadap perkembangan zaman, tetapi dalam hal pembagian peran di rumah tangga sangat minim terjadinya perubahan.
Pada saat ini sudah bukan hal yang aneh melihat perempuan bekerja pada sektor “maskulin” seperti pertambangan, militer, industri, dan teknik. Namun perubahan-perubahan itu tidak terjadi pada sektor domestik. Sekali lagi domestik. Pekerjaan rumah tangga seolah-olah tetap menempel pada diri perempuan seutuhnya. Maka tak heran jika urusan bersih-bersih rumah menjadi kewajiban seorang perempuan.
Keterlibatan laki-laki dalam urusan rumah tangga merupakan sebuah upaya yang penting untuk menghapus stereotip pekerjaan rumah sebagai pekerjaan perempuan. Sebagai contoh saja, di negara-negara Skandinavia, dengan indeks ketimpangan gender yang kecil, melakukan pekerjaan rumah tangga bukan melulu sebagai pekerjaan perempuan. Sejak kecil, tidak ada pembedaan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin sehingga bukan hal tabu ketika seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan stereotip perempuan. Dalam sepuluh tahun terakhir, partisipasi laki-laki dalam urusan rumah tangga juga terus meningkat, sehingga memungkinkan perempuan di negara-negara Skandinavia untuk mengaktualisasikan diri secara optimal pada bidang-bidang yang mereka sukai dan di ranah publik.
Kalau kita kembali ke kebiasaan kita di Indonesia, banyak orang tua masih menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai wilayah perempuan. Maka tidak heran, perempuan di Indonesia masih berkutat pada urusan dapur, kasur, dan sumur. Pandangan ini nyaris merata pada semua suku di Indonesia. Selain itu, pekerjaan rumah tangga sering kali dipandang sebagai pekerjaan kelas dua. Lihat saja dalam percakapan, kita sering mendengar kalimat, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya cuma ngurus rumah tangga”.
Meningkatkan partisipasi pria di dalam rumah tangga berarti juga membantu perempuan untuk memiliki waktu lebih untuk mengaktualisasikan diri pada bidang lain. Banyak ibu yang mengatakan pekerjaannya mengurus rumah dimulai sejak membuka mata di pagi hari hingga menutup mata (maksudnya tidur) di malam hari. Jika seluruh pekerjaan rumah tangga ini diserahkan kepada ibu (dengan asumsi keluarga tidak memiliki pembantu rumah tangga), tanpa ada partisipasi laki-laki di dalamnya, maka sulit ada energi dan waktu untuk melakukan aktualisasi diri atau mempelajari sesuatu yang baru.
Keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga juga akan membantu menurunkan potensi kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). Adanya partisipasi lak-laki dalam urusan rumah tangga akan menunjukkan bahwa pengurusan rumah tangga dan segala tetek bengeknya seperti memasak dan mengurus anak bukan lagi hanya tanggung jawab perempuan tetapi juga laki-laki. Baru-baru ini ada berita soal istri yang disiksa suami karena alasan masakannya tidak enak. Banyak laki-laki yang memandang memasak adalah persoalan kewajiban perempuan, bukan bagian dari tanggung jawab laki-laki.
Mendorong partisipasi laki-laki dalam urusan rumah tangga penting dilakukan untuk memutus anggapan pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan dan remeh belaka. Sudah waktunya anak-anak dididik sejak kecil untuk menghargai pekerjaan rumah tangga, sebagaimana halnya pekerjaan lain yang ada. Lewat pendidikan rumah tangga ini, diharapkan ada perubahan cara pandang terhadap pekerjaan rumah tangga, sehingga beban perempuan dalam rumah tangga berkurang dan kesetaraan gender dapat dicapai.
Komentar
Posting Komentar
isi komentar dengan seradikal mungkin