Langsung ke konten utama

DARI HABIB RIZIEQ UNTUK UMMAT, DARI AGAMA SEBAGAI PENYAMBUNG LIDAH UMMAT


“Yang diwarisi ulama dari Nabi bukan hanya ilmunya, tapi akhlaknya, termasuk resiko dalam dakwahnya” (Habib Riziq Shihab)


Front Pembela Islam (FPI) muncul saat demokrasi di Indonesia lagi mencari bentuk. Habib Riziq tampil jadi pemimpin yang mengobarkan kembali identitas Islam. Baik sebagai ideologi politik maupun dasar tatanan pemerintahan. Itu sebabnya kepedulianya pada problem moral terus didengungkan. Serangan pada kafe maupun tempat maksiat membuat FPI diklasifikasikan sebagai organisasi vigilante. Terlebih seranganya pada ide kebebasan beragama, toleransi hingga pruralisme menciptakan tuduhan buruk padanya. Dianggap mencemarkan Islam, dituduh tidak mengerti substansi ajaran Islam bahkan disebut sebagai gerakan yang didalangi oleh penguasa Orde Baru (Orba). Singkatnya FPI jadi tersangka untuk kegiatan yang mengabaikan nilai-nilai HAM. FPI seperti kutukan bagi sebuah sistem demokrasi.


Tapi FPI bukan surut malah kian membesar. Meraih pengikut di Ibu Kota bukan melalui ceramah agama. Melainkan ikut mengurusi berbagai perkara: penggusuran, bencana alam hingga menangani pengangguran. Sejumlah anak muda bangga memakai seragam FPI karena mewakili sebuah semangat politik baru. Bukan kompromi tapi konfrontasi dan tidak mengandalkan dialog melainkan aksi. Pada saat gerakan Islam lebih memilih mengurung diri di istana, FPI berada di depan pagar istana. Saat gerakan Islam hanya ribut soal posisi publik, FPI mengetengahkan topik seputar kondisi umat. Bagi gerakan Islam lainya negara demokrasi adalah konsep final sedang FPI menyoal bagaimana sepatutnya pemerintah itu bekerja. Pada momen dimana negara merangkul banyak pemuka gerakan Islam maka FPI memilih untuk membuat jarak. Sejauh-jauhnya.


Habib Riziq semula dikenal sebagai pemimpin FPI. Orasinya keras, agitatif tapi terus terang. Saat banyak pemuka agama berceramah dengan orasi yang berbunga-bunga maka Habib Riziq mengungkap fakta. Melalui bahasa yang lugas, kasar dan menusuk. Baginya Islam itu bukan agama yang memoles kenyataan tapi menghidupkan harapan. Tidak lagi mengatakan tentang pentingnya akhlak tapi contoh nyata penyimpangan yang terjadi. Ummat bukan bertemu dengan Firaun di masa lalu tapi Firaun hari ini. Baginya ummat bukan rombongan massa tapi himpunan mereka yang sedang terluka. Baik itu oleh keadilan, kemanusiaan apalagi kehormatan. Maka tuntutanya bukan hanya perbaikan akhlak umat tapi-yang utama- pelurusan moral elite. Di hadapan Habib Riziq kekuasaan itu bukan tahta tapi amanah yang harusnya tidak dikhianati begitu saja.


Di tangan Habib Riziq umat Islam menemukan kehormatanya lagi. Bukan dengan menundukkan diri pada demokrasi tapi merumuskan ulang tatanan yang ideal. Dirinya tidak berangkat dari fakta tapi idealisme nilai Islam. Yang dipertentangkan dengan oligarki, yang dipertentangkan dengan korupsi bahkan yang dipertentangkan dengan konstitusi. Baginya Islam itu bukan nilai normatif yang sibuk dibicarakan tapi dihidupkan dalam suasana protes sehari-hari. Maka perjuanganya bukan memastikan nilai-nilai Islam jadi dasar etika publik melainkan bagaimana elite politik memastikan nilai-nilai itu mewujud dalam kebijakanya. Kini gema tuntutan itu bertaut dengan kehidupan sehari-hari rakyat yang dikalungi berbagai derita dan harapan.


Derita itulah yang kini dialami oleh FPI. Enam anggotanya dibunuh dengan cara brutal. Walau Polisi berusaha memastikan sebuah cerita menurut versinya tapi akal sehat dan Iman tak mudah ditipu. Kabar kematian enam anak muda itu seperti menyengat emosi ummat untuk tidak berdiam diri. Ikrar, sumpah hingga ajakan mulai mengudara dimana-mana. Kini Iman seperti menemukan muaranya bukan pada orasi Habib Riziq tapi nasib yang dialaminya. Borgol yang mengikat tanganya itu bukan lagi sebuah hukuman tapi seruan. Maka jangan terkejut jika ummat kini muncul membawa tuntutan agung yang gagal disuarakan oleh gerakan sebelumnya. Yakni keadilan. Yang tak bisa lagi ditahan oleh pasukan apalagi hukuman. Karena keadilan itu seperti luka yang kini menganga lebar yang sudah mustahil lagi diatasi oleh cara apapun. Sebab sudah terlampau lama keadilan itu diacuhkan dan diremehkan begitu saja.


Hukum yang ingin tegak berada di sendi yang goyah. Pada sisi pelanggaran masih ada aroma diskriminasi sedang di sisi aparat masih muncul hawa kolusi. Seakan hukum tidak memastikan kalau semuanya punya kedudukan yang sama bahkan hukum dituduh tak berpihak pada yang tak punya. Kalau kemudian Habib Riziq dijerat oleh pasal pelanggaran protokol kesehatan maka semua berhak untuk bertanya apa itu juga berlaku pada mereka yang berkuasa? Jujur pertanyaan itu terlontar karena banyak kasus serupa tapi tak ditangani sebagaimana mestinya. Malah penembakan yang dialami oleh kadernya masih menyimpan misteri karena semua keterangan resmi berulang kali direvisi. Disini persoalanya bukan hanya bias tapi lama kelamaan menjadi olok-olokan yang nadanya mengarah pada krisis legitimasi.


Terutama atas politik yang selalu mengkambing hitamkan rakyat. Politik yang menjadikan agama bagai komoditi. Politik yang membawa ormas agama hanya berhitung pada kursi. Politik yang pada akhirnya hanya memusat pada segelintir dinasti. Wajar kalau kemudian rakyat mulai tidak percaya pada aturan bahkan mulai mengacuhkan protokol kesehatan. Sebab bukan covid 19 yang mereka kuatirkan tapi nasib sebagai rakyat yang punya hak pada keadilan dan kesejahteraan yang sedang dipertaruhkan. Pertaruhan itu bukan hanya muncul dari tingginya angka pengangguran tapi kesenjangan sosial yang terus menghantui. Berhadapan dengan itu semua peristiwa yang menimpa FPI dan Habib Riziq seperti sebuah tuas yang ingin digabungkan pada soal apa saja: keadilan utamanya dan perlindungan nyawa rakyat kecil pada umumnya.


Kini sejarah yang sedang bicara. Habib Riziq menjadi suara besar dari ketidak-adilan yang dialami. Tidak melalui sebuah aksi tapi kejadian yang kini menimpanya. Jika dulu Habib Riziq musti berada diatas mobil komando tapi kini diamnya di penjara malah menyulut banyak gelombang massa. Walau aparat berusaha mengurungnya tapi kini massa berjalan mengikuti harapanya. Harapan untuk tidak berdiam diri saat menyaksikan kemunkaran, harapan untuk menatap Iman dengan penuh nyali dan harapan untuk meneladani jalan para utusan Tuhan. Sebab bagi Habib Riziq Iman itu bukan pantulan kenyataan tapi sebuah kenyataan ideal yang harus diperjuangkan dengan langkah nyata. Ummat sebagian kini menemukan titik panduan pada diri Habib Riziq dan inilah kenyataan yang musti diakui.


Habib Riziq sekarang tak hanya memimpin FPI. Dirinya telah menjelma menjadi suara umat yang hidupnya dilukai. Melalui bilik penjara suaranya lebih bergaung karena itulah tempat terbaik untuk menyuarakan keadilan. Saat mana para pemimpin umat dijamu oleh penguasa, Habib Riziq memilih untuk diam di penjara. Ketika para pimpinan umat hanya sibuk bicara Habib Riziq memutuskan untuk diam di tahanan. Umat bukan hanya melihat kontradiksi tapi sadar siapa yang dinamai ulama sebenarnya. Enam anggota FPI yang dibunuh itu telah jadi tiang bagi nilai keadilan yang diperkosa begitu lama. Enam anggota FPI itu seperti sebuah ‘hutang’ yang negara harus membayarnya atau massa yang akan mengadilinya. Karena tanpa keadilan Negara tinggal menjadi-mengutip Nietzsche-‘monster yang paling dingin dari segala monster’


Kini Habib Riziq menyadarkan umat kalau monster itu memang ada, bekerja dan berbahaya


______________________

Ditulis oleh: Rifa'i, magister Jomblo di hadapan kapital dan kekuasaan




Sumber foto: https://bincangsyariah.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARUNG BUKAN HANYA MILIK MASJID DAN MUSHOLLA

Kejadianya sudah lumayan lama. Masehi bilang, hari itu tanggal 10 Juli 2022. Yang mana juga bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah. Dan saya terlibat dalam sekelumit cerita yang terjadi di hari itu. Jadi, hari itu (10/7) selepas salat Id di masjid, saya pulang lalu sarapan.  Setelahnya, saya bergegas menuju lokasi penyembelihan hewan qurban (kambing) untuk menyaksikan prosesi pembunuhan tahunan tersebut. Beruntung, saya belum telat. Sesampainya di sana, saya langsung dihampiri seorang pria paruh baya berkaos hitam dan bertopi. Oh, rupanya itu tetangga sebelah. Saya baru sadar ketika beliau mendekat, maklum keasyikan main petasan. Tak disangka, bukan senyum hangat kebapakan yang saya dapat melainkan sorot mata tajam plus hardikan mesra dari ceropong beliau.  “Copot! Sarungnya copot! Pulang! Di sini tempat kerja, bukan mau ngaji!” damprat beliau dengan nada meninggi namun tak lantang.  Tentu, saya tidak ingin ada percekcokan yang berpotensi mengundang atensi warga dan berubah

-PEREMPUAN TERTINDAS-

   Mari renungkan nasib yang di alami perempuan yang terlanjur di bangun secara kultural melalui wilayah persepsi sebagai makhluk lemah. Karena persepsi ini, di mana pun di muka bumi perempuan selalu dalam posisi kalah atau terkalahkan, alias dikuasai justru oleh sesama manusia, yaitu kaum laki laki. Perempuan di jadikan objek seksual saat kebutuhan biologis laki laki menggelora. Bahkan, saat kehabisan gelora, laki laki tetap saja berusaha agar tetap membara, biasanya melalui obat penguat biar perkasa. Situasi akan semakin dramatis bila lima laki laki sekaligus menggilir seorang perempuan secara paksa, persis seperti para bajingan yg di tayangkan metro tv di beritanya. Ketika menyaksikan perempuan ini tergolek tanpa daya, baik dengan atau tanpa darah segar di sekitar kemaluannya, kelima laki laki bangsat keparat laknat anjing ini menatap dengan puas. Betapa sempurnanya mereka sebagai laki laki yang gagah dan kuasa. Sebagai objek seksual laki laki, perempuan mesti menanggung konsekuensi

PELACUR: DI TEMPAT INI DAPAT MERDEKA?

Setiap kali aktivis dengan berani meneriakkan kesetaraan perempuan, masih ada beberapa sektor yang sering kali saya perhatikan justru “terpaksa” bungkam—salah satunya adalah para perempuan korban prostitusi. Saya sebut sebagai korban prostitusi karena, terlepas dari cara feminis liberal atau feminis postmodern mengglorifikasi hal ini, prostitusi atau perdagangan perempuan adalah tempat di mana relasi kuasa justru bekerja paling kejam dan sistematis. Saya sedang di Bali, di tempat ini, segala hal yang ditolak mati-matian oleh aktivis perempuan—pelecehan dan kekerasan seksual, hubungan tidak sehat yang menyakiti perempuan, dirampasnya kehormatan perempuan secara paksa bahkan sampai femicide (pembunuhan perempuan)—seakan-akan dilumrahkan terjadi. Karena semua itulah, mereka sering kali bungkam dan tidak tergabung dalam barisan utama perjuangan hak asasi perempuan. Pada 8 November 2020, saya berkesempatan mengunjungi salah satu rumah penginapan di jalan anyelir, Tabanan, Bali yang ka