Di larik larik aksaraku hujan mengantar rintik, ada rasa yang mencekam setiap kali 17 Agustus datang. Dalam robekan luka, tak habis kubertanya, mengapa selalu saja masih ada air mata, masih ada jeritan tangis anak bangsa, serupa anak kecil duduk termenung di gubuk tua tanpa harta dan tahta misalnya.
Seperti orang buta berjalan, merabah dengan tangisan, aku terdiam menatap bulan sembari berucap 'kata siapa kita merdeka?'.
Kini sajak-sajakku kembali telanjang tanpa busana di hadapanmu, menatap remang kemerdekaan yang kau rasakan, tahukah engkau? aku melihat selendang duka di tepi matamu, silaunya, memaksaku untuk tertawa.
Garudaku, senja membias wajahmu, desir angin menebar senyummu, 17 Agustus telah datang menghampiri sayapmu yang penuh dengan tumpukan kutu kutu.
Garudaku, dengan sajak ingin kukabarkan padamu, meski langit semalam indah, aku tak mampu memejamkan mata, karena cahaya istana terlihat semakin jauh.
___________________
Ditulis oleh: Rifa'i, magister Jomblo di hadapan kapital dan kekuasaan
_
Komentar
Posting Komentar
isi komentar dengan seradikal mungkin