Langsung ke konten utama

KEMERDEKAAN HANYA OMONG KOSONG

Indonesia merdeka pada 17 Agustus tahun 1945. Setelah itu seluruh masyarakat dan bangsa ini merayakannya setiap tahun di tanggal yang sama. Dari peristiwa itu (saat dibacanya proklamasi kemerdekaan) sampai sekarang, maka sudah 76 tahun sudah usia bangsa Indonesia, selama itu pula kita merayakan kemerdekaan itu.

Semua bersuka cita merayakan hari kemerdekaan ini. Ada pula yang sedikit berduka cita sembari merenung nasib bangsa dan rakyat Indonesia ke depan akan seperti apa dan bagaimana. Keduanya bercampur. Artinya, apakah kita selama ini (76 tahun) sudah benar-benar merdeka sebagai sebuah negara yang pernah dijajah?

Fakta sejarah memang iya, sudah merdeka. Tetapi, ketika melihat realitas hari ini dan esoknya, dapat dipastikan semua orang yang sadar akan merasa ‘ragu’ untuk mengatakan kalau bangsa ini sudah benar-benar merdeka. Dan di setiap momentum 17 Agustus untuk tiap tahunnya seluruh rakyat seakan dibuat agar harus (kalau tidak mau disebut ‘dipaksa’) merayakan peristiwa kemerdekaan di 76 tahun yang lalu itu.

Padahal, rakyat Indonesia masih dijajah dengan gaya yang baru. Dari model dan metode jajahnya. Tanpa senjata, tanpa perang, dan tak ada nyawa yang melayang. Parahnya hal itu dilakukan atas kerja sama asing dengan bangsa sendiri (kebanyakan mereka adalah penguasa dan yang punya kapital).

Penjajahan gaya baru ini sangat jelas terlihat di tengah kuatnya arus perkembangan zaman yang diwarnai dengan kehadiran dan kecanggihan teknologi. Apalagi saat dunia global sedang dilanda pandemi dari Covid-19 termasuk Indonesia. Banyak agenda hitam yang disisipkan. Kita patut curiga akan hal tersebut.

Pada setiap 30 hari di bulan Agustus, seluruh rakyat di bangsa ini penuh semangat meneriakkan kemerdekaan dengan berbagai slogan dan kata-kata bijak. Padahal sebenarnya banyak rakyat Indonesia yang sedang menderita dengan berbagai sebab akibat. Di antaranya mati karena kelaparan, bodoh karena tidak bisa sekolah, tidak kerja karena minimnya lapangan kerja, dan lain sebagainya.

Tetapi dengan kondisi dan situasi kekinian yang lagi parah-parahnya ini kita masih merasa merdeka hanya karena satu hari momentum kemerdekaan 17 Agustus. Setelah bubar dan hilang – tenggelam dengan sendirinya. Kemerdekaan bangsa Indonesia seakan sudah tiada.

Para pendahulu pendiri bangsa punya spirit memerdekakan bangsa adalah keluar dari belenggu penjajahan, melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bisa mampu berdaulat baik secara politik, ekonomi, serta budaya.

Namun, semua harapan dan cita-cita itu berbanding terbalik ketika melihat potret buram perjalanan berbangsa dan bernegara kita. Lihat saja bagaimana ekonomi negara lumpuh, banyak utang, SDA dirampas dengan sopan, banyak emas, gas abadi, nikel, ikan dan hasil laut berlimpah, negara kita adalah jalur perdagangan dunia, tapi rakyat miskin, malas, dan bodohnya minta ampun.

Mungkin saja tidak seluruh rakyat Indonesia mengetahui atau tidak punya akses untuk mendapatkan informasi dan gambaran apa saja sederet masalah yang melanda negara ini, sehingga menjadi penting pada kesempatan disampaikan.

Mengenai utang negara kita. Pada 2014 total utang luar negeri di posisi USD293,33 miliar. Pada akhir 2015 utang luar negeri tercatat makin membesar hingga USD310,73 miliar, meningkat 5,93 persen dari tahun sebelumnya. Angka tersebut terus bertambah hingga tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada 2017, utang luar negeri meningkat 10,27 persen menjadi USD352,88 miliar dari tahun sebelumnya sebesar USD320,01 miliar.

Jika melihat dari posisi utang luar negeri pada saat ini, memang terlihat besar. Hingga Oktober 2018, utang luar negeri tercatat sebesar USD360,53 miliar. Namun angka tersebut tidak datang dengan sendirinya. Utang tersebut tumbuh sejak era pemerintahan sebelumnya. Total utang luar negeri mengalami pertumbuhan yang berbeda-beda dari masing-masing pemerintahan.

Negara kita seakan tergantung pada negara lain perihal ekonomi dengan utang negara yang makin menumpuk. Teori Depedencia milik Theotonio Dos Santos, Dependensi atau ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara ditentukan oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi – lain. Negara-negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima saja dan menjadi ‘budak’ ekonomi negara-negara maju.

Kemudian soal kualitas SDM Indonesia. Dari 174 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 87. Rendahnya kualitas SDM Indonesia juga digambarkan dalam laporan Human Developmen Index (HDI) 2020 dari UNDP. Peringkat Indonesia bahkan lebih rendah lagi, yaitu 111 dari 189 negara.

Indeks pembangunan manusia (human capital index) yang dikeluarkan Bank Dunia memperlihatkan skor Indonesia mengalami kenaikan dibandingkan dua tahun lalu. Ini data bagus. Namun bila diperbandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal.

Ada pula catatan tentang angka kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia pada Maret 2021 sudah mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu membuat tingkat kemiskinan mencapai 10,14 persen dari total populasi nasional. Jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat 0,36 persen atau naik 1,12 juta orang.

Sebelumnya pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 26,42 juta. Namun, jika dibandingkan dengan September 2020, jumlah penduduk miskin turun tipis 0,05 persen dari 27,55 juta penduduk.

Pada persoalan lapangan kerja dan tenaga kerja, banyak anak negeri yang kembali menjadi “buruh” di negerinya sendiri. Menjadi buruh yang rentan dengan upah minimum regional yang terkadang tidak cukup untuk pemenuhan kehidupannya. Apakah ini murni akibat dari globalisasi yang memang tidak bisa ditahan oleh siapa pun ataukah desain negara yang sudah terhegemoni oleh para korporat asing?

Modal asing, tenaga asing, perusahaan asing, dan sebagainya akan terus berekspansi di negeri ini. Dan tanpa terasa, kita sesungguhnya sudah menjadi bagian dari dunia global yang tidak mampu kita tahan itu.

Dan ada masih banyak lagi catatan persolan di negara ini yang mesti diketahui secara bersama. Bahwa masih ada rakyat banyak yang ditindas, kemiskinan dan kesenjangan sosial bertahan awet, hukum melemahkan sekaligus memenjarakan rakyat, tatanan kehidupan demokrasi yang buruk dengan tidak terjaminnya kebebasan berpendapat, dan setumpuk problem bangsa yang tak kunjung menemui solusi dan kabar baik (good news).

Kalaupun ada agenda-agenda besar yang dibuat negara, maka besar kemungkinan itu hanya untuk melanggengkan kepentingan para oligarki, korporat, para kelompok kapital lainnya. Pembangunan atas kepentingan dan nama rakyat hanya semacam gula-gula yang ‘parlente’ yang diberikan penguasa secara politik.

Padahal kita hidup ini di negara merdeka. Merdeka menentukan nasib dan masa depan kita sendiri. Merdeka menentukan masa depan ekonomi, politik, hukum, budaya, demokrasi, pendidikan, dan kesehatan kita sendiri. Tanpa harus ada campur tangan apa pun dan siapa pun – apalagi campur tangan pihak asing.

Sebab ini Indonesia. Negara yang punya segalanya. Sehingga kita tidak boleh miskin dan bodoh secara permanen. Merdeka kita harus seperti kemauan Tan Malaka yakni ‘Merdeka 100 persen’.

Terlepas dari semua itu, kita tidak mesti merayakan kemerdekaan dengan eforia, kemudian merasa sebagai bangsa yang besar hanya karena kita punya peristiwa masa lalu sebagai super hero dengan perjuangan berhasil mengusir penjajah dengan bermodal pikiran dan bambu runcing. Lalu terlena dan lupa diri kalau kita sebenarnya sedang sengsara (tidak baik-baik saja).

Tugas kita adalah mengisi kemerdekaan dengan kreativitas sebagai rakyat yang mencintai tanah air dan bumi Indonesia. Bukan hanya dengan memasang pernak-pernik kemerdekaan, menanam bendera merah putih di setiap depan rumah, membuat gapura dirgahayu, menyelenggarakan berbagai lomba, atau mengadakan dan mengikuti upacara tujuhbelasan yang itu sekadar formalitas, tetapi harus lebih dari itu.

Kita harus tiba pada substansi kemerdekaan. Agar kita tangguh, dan Indonesia tumbuh. Apakah bisa? Mari menjawabnya dengan optimis.

___________

Ditulis oleh: Rifa'i, magister Jomblo di hadapan kapital dan kekuasaan

.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARUNG BUKAN HANYA MILIK MASJID DAN MUSHOLLA

Kejadianya sudah lumayan lama. Masehi bilang, hari itu tanggal 10 Juli 2022. Yang mana juga bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah. Dan saya terlibat dalam sekelumit cerita yang terjadi di hari itu. Jadi, hari itu (10/7) selepas salat Id di masjid, saya pulang lalu sarapan.  Setelahnya, saya bergegas menuju lokasi penyembelihan hewan qurban (kambing) untuk menyaksikan prosesi pembunuhan tahunan tersebut. Beruntung, saya belum telat. Sesampainya di sana, saya langsung dihampiri seorang pria paruh baya berkaos hitam dan bertopi. Oh, rupanya itu tetangga sebelah. Saya baru sadar ketika beliau mendekat, maklum keasyikan main petasan. Tak disangka, bukan senyum hangat kebapakan yang saya dapat melainkan sorot mata tajam plus hardikan mesra dari ceropong beliau.  “Copot! Sarungnya copot! Pulang! Di sini tempat kerja, bukan mau ngaji!” damprat beliau dengan nada meninggi namun tak lantang.  Tentu, saya tidak ingin ada percekcokan yang berpotensi mengundang atensi warga dan berubah

-PEREMPUAN TERTINDAS-

   Mari renungkan nasib yang di alami perempuan yang terlanjur di bangun secara kultural melalui wilayah persepsi sebagai makhluk lemah. Karena persepsi ini, di mana pun di muka bumi perempuan selalu dalam posisi kalah atau terkalahkan, alias dikuasai justru oleh sesama manusia, yaitu kaum laki laki. Perempuan di jadikan objek seksual saat kebutuhan biologis laki laki menggelora. Bahkan, saat kehabisan gelora, laki laki tetap saja berusaha agar tetap membara, biasanya melalui obat penguat biar perkasa. Situasi akan semakin dramatis bila lima laki laki sekaligus menggilir seorang perempuan secara paksa, persis seperti para bajingan yg di tayangkan metro tv di beritanya. Ketika menyaksikan perempuan ini tergolek tanpa daya, baik dengan atau tanpa darah segar di sekitar kemaluannya, kelima laki laki bangsat keparat laknat anjing ini menatap dengan puas. Betapa sempurnanya mereka sebagai laki laki yang gagah dan kuasa. Sebagai objek seksual laki laki, perempuan mesti menanggung konsekuensi

PELACUR: DI TEMPAT INI DAPAT MERDEKA?

Setiap kali aktivis dengan berani meneriakkan kesetaraan perempuan, masih ada beberapa sektor yang sering kali saya perhatikan justru “terpaksa” bungkam—salah satunya adalah para perempuan korban prostitusi. Saya sebut sebagai korban prostitusi karena, terlepas dari cara feminis liberal atau feminis postmodern mengglorifikasi hal ini, prostitusi atau perdagangan perempuan adalah tempat di mana relasi kuasa justru bekerja paling kejam dan sistematis. Saya sedang di Bali, di tempat ini, segala hal yang ditolak mati-matian oleh aktivis perempuan—pelecehan dan kekerasan seksual, hubungan tidak sehat yang menyakiti perempuan, dirampasnya kehormatan perempuan secara paksa bahkan sampai femicide (pembunuhan perempuan)—seakan-akan dilumrahkan terjadi. Karena semua itulah, mereka sering kali bungkam dan tidak tergabung dalam barisan utama perjuangan hak asasi perempuan. Pada 8 November 2020, saya berkesempatan mengunjungi salah satu rumah penginapan di jalan anyelir, Tabanan, Bali yang ka