Kurang lebih 32 hari aku tinggal di desa, tepatnya di pulau Madura kab Sumenep, kec. Batang batang, Dusun Jandir. Lupa tanggal tapi ingat peristiwa, tiba-tiba waktu itu Sulaiman (untuk tidak menyebut nama aslinya) mengundangku datang ke rumahnya.
Dengan waspada aku masuk. Perabotnya lebih banyak dari pada kamarku, di dalamnya ada meja tulis berlapis kaca, di bawah kaca terdapat gambar besar perempuan setengah telanjang.
Ia kelihatan ramah. Matanya liar dan agak merah. Pakaiannya bersih dan berbau minyak wangi melati keraton, jelas aku hafal sekali sama bau minyak itu. Ia seorang pemuda ganteng, bertubuh tinggi, cekatan, tangkas, kuat, sopan, dan nampak selalu dalam keadaan berfikir. Di atas kursi yang tidak di duduki Sulaiman (sekali lagi untuk tidak menyebut nama asli), tergeletak sebuah majalah berlipat paksa. Nampaknya bekas di pergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
"Kau tak punya bacaan?, tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tanpa suara. Giginya putih dan terawat gemerlapan. Matanya menuding pada majalah berlipat paksa itu. Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku.
"Bacaan buat orang malas," Katanya tajam. "Bacalah kalau kau suka. Bawalah." Dia melanjutkan sambil menjulurkan tangan kanannya yang bersih itu.
"Kau mau jadi apa kalau sudah lulus kuliah,? " Tiba- tiba ia bertanya. Sambil mengernyitkan dahi “Aku ingin terlihat sederhana, datang saat diperlukan, menjauh apabila dapat merugikan banyak orang”. Jawabku sambil menyorot tajam.
Kulihat matanya sekarang nampak mengintip menatapku. Menaksir-naksir kekuatanku dan aku mengikuti pola gerak-geriknya, juga tersenyum.
lalu, bapak bapak datang menghampiri kami. "Siapa itu man?” tanyanya dengan suara tegas berwibawa.
“Ini bapakmu man?” tanyaku pada sulaiman sambil menjulurkan tangan.
"Ia dia bapakku, orang terpandang di tempat ini, orang sukses. Tidak seperti orang-orang desa lainnya". Sulaiman berusaha untuk mencairkan suasana dengan umpan bahasa yang apologi.
Mendengar perkataan itu, aku teringat bapak, seorang yang tua renta, seorang tani pula yang setiap harinya mengais uang demi rupiah, mengandalkan otot dan tawakal padaNya agar tetap bertahan hidup sebagaimana layaknya.
“Bahagianya keluarga Sulaiman?” Ucapku dalam hati.
lalu, bapak Sulaiman duduk bersama kami. Selembar koran ada ditangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen PERJUANGAN HIDUP KELUARGA PESISIR PANTAI. Tapi.
"Kau sudah baca cerita ini, Man?" Dia menunjukkan pada Sulaiman yang duduk di sebelah kiriku itu.
"Sudah pa, di kantor barusan. Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita itu”. Sulaiman berusaha meyakinkan sosok ayahnya yang tegas dan berwibawa itu.
Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judulnya telah diubah, itulah tulisanku sendiri, cerpenku yang dimuat oleh salah satu koran di Madura. Beberapa patah kata dan kalimat memang telah diperbaiki, tapi itu tetap tulisanku. Bahkan cerita bukan berasal dari keluarga pesisir pantai, tapi khayal sendiri yang mendekati kenyataan sehari-hari bapak.
Menjelang lima belas menit kemudian, perhatianku telah kukerahkan untuk menangkap setiap katanya. Pada waktu ini ia sungguh seorang guru tidak resmi dengan ajaran yang cukup resmi, berikut ucapan yang di sampaikan beliau yang masih saya ingat sampai tulisan ini saya letakkan di beranda Facebook:
“Sebetulnya aku tidak tahu betul mana intan mana berlian, asli atau tiruan. Tapi begini, dalam beberapa hari ini telah aku coba yakinkan pada anakku sendiri, Sulaiman. Tentang apa yang terjadi dengan diriku sampai aku hidup di hari ini. Bahwa hanyalah suatu kejadian umum dalam kehidupan ummat manusia; terjadi dalam keluarga apapun: raja, pedagang, pemimpin agama, petani, pekerja, bahkan juga di khayangan para dewa, ada telunjuk takdir yang menuding hambanya untuk sampai pada titik yang diharuskan oleh sang pencipta. Ingat semakin kalian pandai berhitung, kalian kian berutang pada banyak peristiwa. Jumlah perkara tidak pernah lagi berkurang, selisih menuju sengsara kian ditambahkan usia tua”.
Kini kerumitan menempel di ubun-ubun, menusuk dinding kepala yang menampung banyak pertanyaan. Sementara lagu-lagu sendu yang terus terdengar dari balik jendela perlahan tidak jelas ritme lagunya, bahkan saat tengah bermimpi merayakan pesta kebahagiaan, segala yang sederhana perlahan sirna.
_________________________________
Ditulis oleh: Rifa'i, magister Jomblo di hadapan kapital dan kekuasaan
Komentar
Posting Komentar
isi komentar dengan seradikal mungkin